JAKARTA, KOMPAS.com - Kekalahan ekspor ikan Indonesia atas Vietnam membuat bertanya-tanya. Pasalnya, hasil laut Vietnam jauh lebih sedikit ketimbang Indonesia. Pasalnya, 30 persen dari total 70 persen perikanan di Asia Pasifik ada di Indonesia.
Data menunjukkan, ekspor Vietnam tahun lalu sudah mencapai 8,9 miliar dollar AS dan bakal bertambah di tahun ini. Sedangkan Indonesia baru memproyeksi ekspor ikan 5,9 miliar dollar AS tahun 2020.
Rupanya, kekalahan tersebut ditengarai karena Vietnam melakukan ekspor kembali ke Amerika dan Eropa setelah membeli ikan di kawasan Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Ini menunjukkan proses pengolahan (processing) ikan Vietnam jauh lebih baik ketimbang RI.
Baca juga: Ekspor Perikanan Indonesia Kalah dengan Vietnam, Ini Masalahnya
"Mereka (Vietnam) punya processing yang excelent, kita harus akui itu. Itu sebabnya penetrasi end-market mereka di Eropa bagus. Mereka jadi salah satu rising starnya produk perikanan di Asia Tenggara makanya dipercaya AS dan Eropa untuk ekspor ke sana," kata Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia ( Perindo) Risyanto Suanda dalam acara Ngopi BUMN di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Selain itu Risyanto menyebut, Vietnam bisa jauh lebih mudah memasarkan produknya ke AS karena banyak produk yang diminta importir asal negara itu di AS.
"Kalau kita mau sedikit menjustifikasi, rupanya di AS itu importir-importirnya banyak diekspor dari Vietnam juga. Mungkin zaman dulu civil war sebagian pada eksodus ke AS jadi pemainnya di sana bisa ekspor. Ini orang Vietnam juga," ucap Risyanto.
Perlu sertifikasi
Kembali ke soal pengolahan, Indonesia perlu memperbaiki sistem pengolahan ikan hingga mendapat sertifikasi Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) untuk bisa mengekspor ikannya di kawasan Asia.
Sementara untuk AS dan Eropa, diperlukan sertifikasi lolos standar badan makanan AS, FDA dan BRC untuk Eropa.
Di Perum Perikanan Indonesia (Perindo) sendiri, Risyanto mengakui baru 25 persen dari 20 titik tempat pengolahan dan cold storage yang telah mendapat sertifikasi, yaitu di Natuna, Rembang, Brondong, dan Sangihe. Sementara 75 persen lainnya masih berjuang mendapat sertifikasi.
Mengapa 75 persen fasilitas belum tersertifikasi?
"Karena dulu biasanya kita bikin coldstorage yang bisa simpan-menyimpan saja, enggak berpikir jual langsung ekspor. Jadi harus punya sertifikasi kalau ke Asia," ungkap Risyanto.
Baca juga: Kalahkan Vietnam, Perum Perindo Kejar Sertifikasi 8 Coldstorage
Sebetulnya kata Risyanto, mendapat sertifikasi bukanlah hal yang sulit mengingat sudah banyak fasilitas pengolahan ikan yang telah tersedia. Hanya saja, perlu adanya konsistensi pelayanan yang baik, mulai dari awal hingga akhir proses pengolahan.
"Untuk dapat culture analytical critical control poin A itu setengah mati. bukan masalah fasilitasnya yang susah, tapi konsistensi mulai dari menerima ikan, membersihkan, sampai proses penyimpan ini kan harus bagus. Nah ini kita masih lemah di sini," kata dia.
Selain mengejar sertifikasi, Perum Perindo bakal mengintegrasikan operasi kapal untuk menyebarnya di beberapa titik yang paling potensial, termasuk produksi budidaya di hulu.
Pun merekrut tenaga kerja yang ahli dibidangnya, sekaligus memberikan pelatihan dan memperkuat SOP.
"Karena SDM bagus tanpa sop yang kuat di lapangan tidak akan kuat. Kita lagi implementasikan ini juga dalam dua tahun ini, sekarang proses di pelabuhan sudah kita digitalkan. Proses perdagangan dan yang lain juga kita perkuat, tentu harus didukung monitoring di lapangan," sebutnya.
Baca juga: Banyak Kapal Vietnam Masuk ZEE Indonesia, Ini yang Dilakukan Menteri Susi
Target ekspor 2019
Terkait target ekspor, Perum Perindo menargetkan nilai ekspor hingga 22 juta dollar AS hingga akhir tahun 2019.
Risyanto optimistis target tersebut bisa tercapai di tahun 2019, meski serapan ekspor masih di angka 40 persen. Artinya, masih ada sisa 60 persen yang belum mampu terserap.
"Karena perikanan itu memang musiman, jadi Januari sampai April memang produksi slow down, karena mengandalkan tangkapan laut. Tapi 4 bulan ke depan akan kami genjot produksi," ucapnya.
Terlebih lanjut dia, masa-masa di semester II dan akhir tahun merupakan musim panen ikan. Pun permintaan pasar dari luar negeri sudah membeludak sehingga semua proses perlu dioptimalkan.
"Indonesia kita optimalkan semua, termasuk dimonitoring terus, support, genjot, sekarang saya di kantor termasuk selalu katakan everyone is marketers," ujar dia.
Baca juga: Mengapa Indonesia Tertinggal dari Vietnam?
Konsumsi ikan RI meningkat
Di sisi lain, alokasi ikan untuk ekspor berkurang karena meningkatnya konsumsi ikan di masyarakat Indonesia. Hal ini seperti buah simalakama, di mana masyarakat telah mengerti pentingnya makan ikan sekaligus membuat ekspor berkurang.
"Sebenarnya produksinya banyak, tapi konsumsi sea food local market kita kan juga meningkat," ucapnya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak menjadi kendala utama bagi Perum Perindo. Masih banyak cara lain untuk memaksimalkan ekspor, seperti memperbaiki sistem pengolahan.
Sementara mengenai target pendapatan, Perum Perindo optimistis bisa meraup Rp 1,2 triliun hingga akhir tahun. Angka tersebut lebih besar dari pencapaian tahun lalu sebesar Rp 1 triliun.
Adapun di semester I 2019 kemarin, pendapatan Perum Perindo baru mencapai Rp 300 miliar.
Baca juga: Kalah Saing dengan Vietnam, Mendag Mengaku Ditegur Jokowi
"ikan" - Google Berita
September 17, 2019 at 08:39AM
https://ift.tt/30n3bF1
Indonesia Kaya Hasil Laut, tetapi Ekspor Ikan Kalah oleh Vietnam... - Kompas.com - KOMPAS.com
"ikan" - Google Berita
https://ift.tt/2Lm4jo8
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Indonesia Kaya Hasil Laut, tetapi Ekspor Ikan Kalah oleh Vietnam... - Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment